Beranda Cerpen – Malam itu kosong saja. Anjing dikejuahan, lampu redup taman, dan angin beku menusuk tulang. Semua normal seperti hari-hari sebelumnya. Semua biasa saja. Sampai menjelang pukul tiga dini hari, titik-titik cahaya perlahan turun seperti serpihan rahasia yang terbangun dari tidur. Mereka bukan bintang. Bukan juga hujan. Tapi nyala kecil, seperti bara yang lepas dari pangkuan langit.
Titik api. Titik-titik api itu menari perlahan di udara, menelusup di antara lembah-lembah sunyi dan celah batu retak. Melayang tanpa tujuan. Belum tahu akan menjadi apa. Hangat, atau membakar. Menghidupkan, atau memusnahkan.
Jauh di bawah sana, perempuan paruh baya berdiri. Berpakaian putih bersih, matanya menatap titik-titik cahaya. Tanganya mengepal ringan dengan sorot mata lembut tapi tajam. Berjam-jam dia di sana.menapaki malam. Sendirian. Namanya Nurani. Suaranya lirih, tetapi ada kekuatan yang tak bisa dijelaskan. Menggetarkan hati siapa saja yang mendengarkan. Mengelus daun telinga seperti angin musim semi.
Baca Juga:
“Mereka menyala,” bisiknya. “ Tapi apakah mereka tahu… untuk apa mereka menyala?
”Tapi, malam itu bukan milik Nurani. Langit mengguncang. Tanah bergemuruh. Dari celah retakan bukit utara kota, bangkit sesosok besar dengan jubah merah menyala, rambut panjang seperti kobaran api. Menjulur ke langit. Sosok itu muncul darubtempat tertinggi, berdiri di atas semua yang menyala.
“Akulah Raja Api!” seru makhluk itu, suaranya membelah udara. Sorot matanya penuh murka. Mulut lebarnya siap menerkam apa dan siapa saja. Besar, merah dan penuh amarah. Makhluk itu tak henti berteriak dan menyerang.
***
Titik-titik api berhenti menari. Mereka tunduk, seolah mengenali suara itu. Suara yang membuat mereka lahir, atau setidaknya… itulah yang diajarkan pada mereka dari lahir. “Kalian menyala karena aku,” lanjut Raja Api, matanya memerah.
“Kalian hidup karena aku. Tanpa aku, kalian hanya asap tak berguna. Akulah bara, akulah cahaya, akulah kehendak yang akan membakar dunia!
”Titik-titik api gemetar. Mereka semua tenggelam dalam ketakutan. Menggigil saling mempererat genggaman tangan. Tak satupun berani mengangkat kepala. Tak satupun berani berkata-kata. Hanya takut, cemas dan tunduk. Pemandangan monoton dini hari itu.
***
Sampai mereka tersentak. Kaget, bingung, tak percaya. Nurani melangkah maju, menatap raja Api tanpa takut. “Api tidak untuk membakar segalanya,” katanya. “Ia diciptakan untuk menerangi.
Untuk menghangatkan. Kau bukan terang, kau hanya haus kuasa.
”Raja Api tertawa. “Kau?” katanya mengejek. “Suara kecil seperti kau ingin mengajariku tentang cahaya?
”Dan dengan satu hentakan tangan, titik-titik api itu bergerak—bukan karena keinginan mereka, tapi karena perintah. Mereka mengepung Nurani, menari di sekelilingnya seperti pusaran panas yang ingin membungkam suaranya.
Nurani berlutut. Nafasnya sesak. Ucapannya tercekik. “Aku… hanya ingin… kalian… mengerti…
”Raja api berdiri di atas mereka, tertawa keras. “Lihat dia! Nurani! Sekarang dia tak bisa berbicara. Api telah memenjarakan suara itu. Dan kalian,” katanya pada titik-titik api, “kalian adalah tentaraku! Kalian adalah kehendakku!
”Suana semakin mencekam. Nurani hampir pingsan karena sesak cekikan api dalam kepungan itu. Sebelum tubuh nurani benar-benar lunglai dan ambruk, tiba-tiba satu titik api berhenti. Disusul satu lagi. Lalu satu lagi. Gerakan mereka melambat. Keraguan mulai merambat dari bara ke bara.
“Kami… tidak ingin membakar,” bisik salah satu dari mereka.
“Kami ingin hangat,” sambung yang lain.
“Kami… ingin jadi cahaya, bukan senjata…”
Nurani mengangkat wajahnya. Wajahnya pucat, tapi senyumnya tetap utuh. “Kalian bisa memilih,” katanya lirih. “Menyalalah. Tapi jangan membakar. Hidupkanlah. Jangan musnahkan.
”Kata-katanya sederhana, tapi seperti suluh yang menyala dalam gua. Titik-titik api itu menatap satu sama lain. Mereka bergerak perlahan, membentuk barisan, bukan lagi untuk mengepung Nurani, tapi untuk berdiri bersamanya.
Raja Api menyeringai. “Apa maksud kalian? Kalian milikku! Aku perintahkan kalian bakar dia! Sekarang!
”Tak ada yang bergerak.
“Dengar perintahku!” teriak Raja Api. “Aku raja kalian!
”Satu titik api melempar asapnya ke tanah. “Kau bukan raja kami.
”Yang lain berkata, “Kami menolak diperintah oleh kehancuran.” Dan tanpa aba-aba, mereka menyatu, berputar cepat, membentuk lingkaran api besar di sekeliling raja api. Bukan untuk memuliakan, tapi untuk mengunci. Cahaya mereka menyala terang, bukan merah amarah, tapi emas kebenaran.
Raja Api berteriak. Tubuhnya bergetar. Rambut apinya mulai luruh, satu per satu nyala yang ia curi kembali ke langit. Dalam sekejap, ia terserap ke dalam pusaran titik-titik api yang kini menyatu, bukan dalam kekuasaan, tapi dalam pilihan.
Sunyi.Lalu perlahan, langit berubah warna. Bukan merah menyala, tapi putih dan kuning keemasan. Titik-titik api menari ringan, seperti cahaya kunang-kunang. Nurani berdiri di tengah mereka. Tenang. Utuh. Terang.
Ia menatap satu titik api yang turun terakhir dari langit-langit malam.
“Kini… kalian tahu,” bisiknya.
“Tak semua nyala harus membakar.
Tak semua kekuatan harus membungkam.
Kadang…
cahaya paling murni…
adalah yang memilih untuk tidak menyakiti.
”Malam itu, dunia menyala, bukan karena kekuasaan,
tapi karena Nurani.
Bambang budiono
Akhir Agustus 2025
Cerpen ditulis dengan rasa prihatin mendalam, atas dibakarnya sejumlah fasilitas publik di Indonesia akhir Agustus 2025.